Saturday, February 27, 2016

E-Commerce: Traveloka.com


Nama Ferry Unardi mungkin tidak begitu familiar, tapi Anda mungkin pernah mendengar startup website booking pesawat yang didirikannya: Traveloka. Kini, Traveloka tidak hanya berhasil menjadi website booking pesawat terbaik, tapi juga menjadi salah satu startup ternama di Indonesia. Pada acara Startup Asia Jakarta 2014, CEO Traveloka Ferry Unardi berbicara tentang berbagai kisah perjalanan entrepreneurship-nya.
Jika kebanyakan founder startup mempunyai latar belakang entrepreneurship yang mendorong mereka mendirikan startup, cerita Traveloka sedikit berbeda. Ferry mengatakan, “Saya tidak melihat diri saya sebagai seorang entrepreneur, tetapi lebih sebagai seorang engineer. Sebagai seorang yang menyukai IT ketika remaja, mengambil jurusan matematika ketika kuliah, dan sempat bekerja di Microsoft; ide mendirikan startup tidak pernah ada dalam benaknya. Hingga akhirnya tiga tahun setelah ia bekerja di Microsoft, kemungkinan tentang “tidak akan menjadi engineer terbaik” mengganggu pikirannya. Sejak saat itu, Ferry memutuskan untuk mencari kesempatan lain. Ia pergi ke China hanya untuk melihat apa yang ditawarkan oleh pasar ini. Ia menemukan bahwa industri travel terlihat menarik, tapi ide tersebut baru direalisasikan beberapa waktu kemudian.
Segala sesuatunya berawal dari ungkapan ini “jika tidak ada layanan yang menawarkan apa yang Anda butuhkan, maka buatlah sendiri”. Sebagai seorang mahasiswa di Boston yang menjadi karyawan di Seattle dan sering pulang ke kampung halamannya di Padang, Ferry merasa semakin jengkel terhadap betapa sulitnya mem-booking pesawat untuk pulang karena ia selalu mengalami kesulitan memperkirakan rutenya. Saat itulah Ferry yang saat itu berumur 23 tahun memutuskan untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan memasuki “masa yang paling stres” dalam hidupnya.

Berhenti kuliah, memulai startup

Bagaimanapun, jika kebanyakan founder memulai dengan berlari, Ferry harus mundur selangkah terlebih dahulu. Ia tidak punya pengalaman bisnis sama sekali dan tidak tahu bagaimana menjalankan sebuah perusahaan. Jadi ia mengambil langkah logis berikutnya dan berkuliah untuk mendapat gelar MBA di Harvard University. Rencananya adalah untuk menyelesaikan MBA di Harvard sehingga ia akan mendapatkan pengalaman yang diperlukan untuk dapat mengelola perusahaan dengan baik. Namun, setelah hanya satu semester, rencananya harus diubah lagi.
“Saya ingat ketika semua orang mempertanyakan keputusan saya untuk berhenti, tapi itulah yang harus dilakukan. Berhenti kuliah adalah keputusan yang sangat sulit, baik untuk saya dan pasangan saya karena ia bekerja untuk LinkedIn pada saat itu dan memiliki saham yang belum sepenuhnya diperoleh, tapi saya ingat pernah mengatakan “kita [berusia] 23, kita masih cukup muda untuk melakukan kesalahan” dan bahwa tidak ada waktu yang lebih baik.” kata Ferry. Saat itu industri e-ticketing baru mulai mendapatkan traksi di Indonesia dan perusahaan seperti Tiket baru saja menerima dana. Ferry mengatakan kepada hadirin di Startup Asia bahwa ia percaya jika mereka tidak masuk ke pasar pada waktu yang tepat, mereka akan ketinggalan kereta.
Itulah saat Traveloka lahir. Belum seperti apa yang kita kenal saat ini, melainkan masih pada bentuk paling awal. Pada awal berdirinya, Traveloka hanyalah sebuah platform flight search dan aggregator penerbangan. Ada penjelasan yang sangat sederhana terkait hal itu: yakni, karena Ferry dan rekan-rekannya adalah engineer dan itulah yang mereka sukai. Namun, pasar ingin lebih. “Dengan cepat kami belajar bahwa masalah yang terjadi bukan hanya saat menemukan penerbangan tapi juga saat melakukan transaksi” jelasnya. Pelanggan tidak puas menggunakan layanan yang berbeda untuk menyelesaikan proses pembelian mereka, dan itulah saat ketika Traveloka memutuskan untuk menyelesaikan banyak masalah yang dihadapi sebagian besar perusahaan, tidak hanya di industri teknologi tetapi secara umum.

Maskapai penerbangan mulai bekerjasama

Ferry bercerita bahwa perubahan terbesar yang harus mereka lakukan dalam hal gaya perusahaan adalah pengelolaan tim mereka. Mereka harus bertransformasi dari hanya sekitar delapan orang hingga menjadi tim sebenarnya dengan divisi seperti customer service, karena mereka sekarang berhadapan dengan uang milik orang lain, sehingga memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi dari apa yang mereka pikirkan sebelumnya. Traveloka belajar bahwa tidak mungkin menjadi perusahaan yang hidup semata-mata di internet. Sebaliknya apa yang harus lakukan startup adalah menjadi perusahaan fisik dengan kehadiran online. Untuk seseorang dengan latar belakang manajemen yang terbatas, itu adalah tantangan bagi Ferry untuk mengelola timnya dengan cara yang efektif.
Ketika ditanya dari mana ia mendapat inspirasi dan apa yang membantunya mengelola timnya dengan baik, Ferry menyebut buku karya Ben Horowitz, veteran startup dan legenda VC, The Hard Thing about Hard Things sebagai sumber inspirasinya. “Buku ini mengajarkan saya bahwa orang hanya memperhatikan pertumbuhan dan pengguna, tetapi Anda harus fokus dengan apa yang ada di balik hal tersebut – seperti membangun tim yang tepat. Orang-orang tidak berbicara tentang hal ini karena tidak secara langsung berhubungan dengan internet. Tetapi pada akhirnya kami adalah perusahaan dan kami harus terlebih dahulu dan terutama membangun sebuah perusahaan.” katanya.
Namun, masalah mereka tidak hanya itu. Sebagai startup kecil, perusahaan besar terutama maskapai penerbangan tidak benar-benar bersedia untuk bekerjasama dengan Traveloka, bahkan nyaris tidak memperhatikan mereka. Untuk mengatasi hal ini, Ferry kembali ke poin awal tentang membangun sebuah perusahaan dengan fokus fisik dan online, bukan sebaliknya. Traveloka memiliki satu strategi untuk mengatasi masalah ini yang merupakan strategi yang sama yang mereka gunakan untuk menjadi kuat di pasar: “Jika Anda membangun pelayanan yang baik, orang-orang akan datang.” Ferry percaya bahwa Anda harusnya tidak membangun layanan dimana orang hanya menentukan salah satu fitur yang mereka suka – melainkan pengguna harus menyukai keseluruhan layanan tersebut. Inilah yang Traveloka lakukan; mereka membangun sebuah layanan yang ingin digunakan orang. Ini memungkinkan tim untuk mendapat basis pengguna yang besar dan akhirnya mendapatkan perhatian dari perusahaan penerbangan.

“Maskapai penerbangan selalu memiliki lebih banyak persediaan daripada permintaan sehingga layanan seperti yang kami punya bisa membantu mereka mengisi kursi yang kosong. Bahkan jika mereka tidak ingin bekerja dengan kami, mereka [sebenarnya telah] bekerja [dengan kami].” Kini, Traveloka telah berkembang dari tim kecil menjadi sebuah perusahaan. Website yang memiliki peringkat Alexa 150 di Indonesia ini memiliki puluhan juta pageview per bulan. Sejak diluncurkan, Traveloka telah mengumumkan dua putaran pendanaan; salah satunya dari East Ventures 

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fajar - Manssizz Corporation | Tutorialing For All